POLITIC AT OFFICE.....................

Politik di kantor (apapun bentuknya) yang sering ditanggapi orang dengan sikap “alergik” pada kenyataannya tidak pernah punah, bahkan merupakan realita. Kita sering tidak bersimpati dengan seseorang yang “sok bener” terutama di depan atasan, bahkan tega “menyingkirkan” semua orang yang dianggap tidak benar, apalagi membahayakan kedudukannya. Ada juga individu yang tidak kita sukai karena ia pandai sekali memanfaatkan “power”, dan bisa membuat ketergantungan atasan, atau perusahaan kepadanya, sehingga pada “timing” yang tepat, ia bisa unjuk gigi alias bermain dengan bargaining power-nya.

Mengapa situasi “berpolitik” seperti ini menjengkelkan orang-orang yang berada di luar permainan? Menurut ahlinya, politik kantor ini menjadi lebih kelihatan nyata pada lembaga yang kekuatan SDM nya tidak seimbang, missal banyak yang produktif sementara banyak yang bermalas-malasan. Ada istilah “like and dislike” yang muncul karena standar kinerja yang sulit dibuktikan apalagi dhihitung, juga job description yang tidak seimbang dan tidak jelas, yang kesemuanya bisa membangkitkan rasa tidak aman dalam bekerja. Rasa tidak aman ini terutama akan lebih terasa lagi, pada orang yang sama sekali tidak mau “bermain” dan juga tidak menyadari apalagi tahu cara mainnya. Politik kantor memang sangat subjectif dan informal, inilah sebabnya hal itu terasa tetapi sulit diraba dan teraga.

TAHU APA YANG KITA MAU

Ada teman, yang bekerja di sebuah perusahaan berukuran sedang merasa bahwa ia juga harus melakukan kegiatan lobby, mengikuti kegiatan-kegiatan minum the bahkan mempersuasi pengambil keputusan, ketika ia berusaha menjalankan rencana mengubah operating system jaringan informasi di perusahaannya. Melihat bahwa ia benar-benar berjuang demi penggantian system tanpa berniat mendapatkan kedudukan, kedekatan dan power bagi dirinya, saya lantas menanyakan hal apa yang dia bela mati-matian. Dengan santai ia menjawab bahwa yang ia bela adalah sekedar kinerja pribadinya. Tanpa kasak-kusuk, bujukmembujuk, sikap super baik, dan mendekati orang-orang kunci, ia tahu tidak mungkin ia berhasil menjalankan perubahan yang menyulitkan di perusahaan tanpa adanya dukungan. “Sebenarnya saya tidak idealis-idealis amat. Saya tahu bila penerapan system ini gagal, karir saya akan terhambat.”

Untuk survive di lingkungan organisasi, kita memang perlu kuat dan berakar, serta tahu apa yang kita mau. Kita bisa menyasar hal-hal material, kita bisa juga mementingkan karir, kinerja dan peningkatan kompetensi, sementara orang lain ada yang memburu keterlibatannya dalam kelompok tertentu, power atau control terhadap situasi. Namun, berdiam diri, dan berharap bahwa segala sesuatu akan berjalan sesuai dengan system yang ada, memang hampir tidak mungkin. “Kita perlu tahu dimana pusat kekuatan, siapa orang yang berpengaruh dan bisa mempengaruhi lingkungan social. Kita pun perlu bisa me”licin”kan upaya kita melalui pendekatan,” demikian ungkap teman saya.

Sepanjang kita bersikap fair, tidak manipulatif dan curang, me-lobby, mempersuasi dan berpolitik memang harus dilakukan. Sikap negative seperti yang kita kenal missal kita menerapkan system “kodok”, menyembah ke atas menendang ke bawah, tentunya adalah gaya yang tidak anggun dan tidak dilakukan oleh orang yang tahu berpolitik dengan baik.

BERTINDAK HALAL TANPA MENGHALALKAN SEGALA CARA.

Ketika dalam suatu rapat, salah satu jajaran CEO perusahaan tempat saya bekerja mengumumkan bahwa rekrutment di perusahaan ini menganut system keluarga dan pertemanan, saya baru memahami bahwa di dalam berorganisasi ada realitas berpolitik yang perlu dicermati. Hal ini menyangkut siapa dekat denga siapa, siapa mempunyai pandangan yang sama dengan yang mana, siapa pemain kunci dan siapa sekedar pengikut atau penggembira. Jejaring pertemmanan yang berdasarkan kedekatan masa kecil, almamater, kesamaan pandangan maupun ideology biasanya merupakan lahan berpolitik, baik di perusahaan maupun di organisasi lainnya. Sama seperti strategi perang, berpolitik pun memerlukan pemetaan dan perencanaan yang mapan.

Orang-orang kuat dalam perusahaan dan organisasi biasanya memang bukannya tidak berstrategi, merka juga “politically savvy”. Orang-orang ini tahu bagaimana berhubungan dengan atasan, bahkan mendukung atasannya gar sukses. Bersamaan dengan upaya itu, seorang yang tahu berpolitik pasti berupaya untuk selalu tampil di rapat-rapat penting, tahu mendekati “orang-orang kunci”, menunjukkan “corporate manners” yang baik, dan menampilkan kemampuannya sebagai “team player”.

Dalam organisasi apapun, kita hanya bisa eksis bila memiliki kontribusi yg signifikan. Bila kita amati orang yang pandai me-lobby dan berpolitik, sementara produksinya “kosong”, maka orang ini lambat laun tidak bisa meneruskan karirnya. Kekuatan kita dalam berproduksi merupakan modal agar kita bisa diperhitungkan dalam peta social organisasi. Individu yang produksinya di atas rata-rata tinggal mengasah cara berinteraksi, berapat, mendekati atasan dan orang-orang kunci, serta membuat diri lebih diperhitungkan dengan berusaha lebih bermain fakta, membina hubungan emosional yg sehat, berusaha menonjolkan orang lain tanpa lupa memunculkan diri sendiri. Kontribusi yg sudah kita tunukkan jaangan sampai dikotori dengan mempraktekkan cara gaul murahan seperti bergosip,menekan, menyalahgunakan jabatan, mencari muka tanpa alasan.


******#######***********

Komentar

Postingan populer dari blog ini

METODE PENAMBANGAN BAWAH TANAH - UNDERGROUND

FRIENDSHIP CARING

Jakarta-Bangkok-Siem Reap