Pak Jokowi, Saatnya kita bakar Kapal..#Jakarta Berubah#

Setelah muncul banyak opini kontra baik di twitter ataupun di media terhadap persetujuan Jokowi atas proyek 6 Ruas Jalan Tol, Jokowi mengatakan ia akan menggelar public hearing terkait keputusannya meneruskan proyek pembangunan enam ruas tol baru di Jakarta. Ia berjanji akan mengundang semua pakar dan pengamat, terutama yang selama ini protes terhadap kebijakan pembangunan enam ruas tol tersebut. Bahkan perkembangan terbaru menyebutkan public hearing ini akan digelar hari Selasa, 15 Januari 2013.

“Sekali lagi saya sampaikan kalau saya itu pro pada transportasi massal; agar elevated bus bisa masuk, silakan. Jangan dikomentari terlalu jauh dulu-lah. Saya dengar kok dari pakar-pakar, termasuk mereka yang berkicau di twitter. Lah iya saya juga mengerti kok baca-baca terus,” kata Jokowi di Balaikota Jakarta, Jumat (11/1/2013).

Langkah selanjutnya, kata dia, akan membuat public hearing untuk proyek enam ruas tol dalam kota. Jokowi berjanji akan mengundang semua pakar dan pengamat, terutama yang protes terhadap kebijakan tersebut. Sementara itu, Jokowi juga mengaku belum pernah bertemu dengan konsorsium penggerak jalan tol, yaitu PT Jakarta Tollroad Development.

“Belum ketemu. Saya kan baru dengar dari Kementerian Pekerjaan Umum. Nanti diterangkan, lho, saya itu setuju dengan catatan, catatan itu jangan ditutup-tutupi. Sekali lagi catatan jangan ditutup. Kalau perlu kamu block yang gede,” ujarnya sambil tertawa.

Melalui public hearing yang Jokowi janjikan, dengan itu, ia mengharapkan warga dan para pengamat untuk tidak berkomentar negatif terlebih dahulu terkait kebijakan enam ruas tol dalam kota. “Saya maudenger kok semua pendapat dari pakar-pakar, termasuk mereka yang berkicau di Twitter. Lha saya mengerti dan baca kok kritikan dan kecaman yang disampaikan ke saya,” katanya.

“Nanti hari Selasa atau Rabu kita akan adakan public hearing,” ujar Jokowi di Kamal Muara, Jakarta Utara, Sabtu (12/1/2013).

“Kita akan dengarkan langsung pendapat masyarakat seperti apa. Kenapa menolak, itu kan harus jelas. Saya kan baru kemarin dijelaskan sama Menteri PU,” terang Jokowi yang mengenakan kemeja putih ini.

Sumber: Detik.com dan Kompas.com

Perkembangan ini adalah berita bagus untuk warga Jakarta yang pro transportasi publik dan menolak pembangunan Jalan Tol Dalam Kota. Bahwa Jokowi juga masih memperhatikan kritik di twitter menunjukkan beliau adalah figur yang masih mau mendengarkan keluhan masyarakat dan siap untuk mengubah sikapnya jika diperlukan. Sikap ini kita apresiasi karena tidak banyak pemimpin sekarang yang bersedia melakukan hal serupa.

Saya telah menulis pendapat saya panjang-lebar tentang pembangunan 6 ruas jalan tol dalam kota yang diestimasi senilai 42 triliun ini di Mimpi Transportasi Publik Jakarta dan Jokowi Setuju 6 Ruas Jalan Tol, Harapan Jakarta Baru Sirna. Tulisan kali ini adalah pengembangan kedua tulisan tersebut dan kembali mempertegas mengapa 6 Ruas Jalan Tol adalah ancaman bagi cita-cita Jakarta Baru yang diusung Jokowi-Ahok pada masa kampanye Gubernur DKI Jakarta tahun lalu. Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi masukan bagi masyarakat yang berkenan menghadiri public hearing nanti. Sayangnya saya sendiri tidak dapat hadir karena masih bertugas di luar Jakarta.

Bakar Kapalnya, Point of No Return

Dalam sejarah perang, ada beberapa kejadian di mana pemimpin perang melakukan tindakan drastis “membakar kapal” untuk memastikan kemenangan. Hal ini dilakukan untuk menciptakan “point of no return”, titik di mana tak mungkin kembali lagi sehingga semua pasukan hanya fokus melihat tujuan yang ada di depan. Perang Julu (tahun 207 SM) di Cina dan invasi Spanyol ke Meksiko (tahun 1519) adalah contoh taktik membakar kapal yang berhasil.

Perang Julu tahun 207 SM terjadi antara Dinasti Qin dan kerajaan Chu yang memberontak. Pemimpin tentara Qin adalah Zhang Han sedangkan yang memimpin pasukan Chu adalah Xiang Yu. Xiang Yu memimpin pasukannya menyeberangi Sungai Kuning untuk memperkuat pasukan Chu yang sedang berperang melawan tentara Qin. Saat itu kondisi pasukan Chu sudah di ambang kelaparan karena perang yang berlarut-larut. Xiang Yu lalu memerintahkan pasukannya untuk membawa persediaan makanan yang hanya cukup untuk 3 hari dan menghancurkan sisanya, bersama peralatan masaknya dan menenggelamkan kapal yang baru saja mereka gunakan untuk sampai di Julu. Dengan melakukan hal ekstrim ini, Xiang Yu mengirimkan pesan yang jelas kepada pasukannya bahwa mereka tidak mungkin dapat hidup tanpa mengalahkan musuh dan mengambil alih persediaan makanan musuh.

Hasilnya luar biasa, pasukan Chu berperang dengan ganasnya untuk dapat hidup. Demikian hebatnya sehingga setiap prajurit seakan mengalahkan 10 musuh dan akhirnya seluruh pasukan Qin dapat dikalahkan. Lebih dari 100.000 tentara Qin tewas dan Zhang Han terpaksa mundur dari Julu. Jenderal Qin Su Jiao juga tewas dalam perang dan Wang Li, wakilnya Zhang Han tertangkap. Pasukan Chu yang hanya berjumlah 50.000-60.000 orang itu mengalahkan 300.000 pasukan Qin, prestasi yang tidak mungkin terjadi pada kondisi psikologis yang wajar.

Kisah Hernando Cortez dari Spanyol juga hampir sama. Hanya dengan modal 500 prajurit dan 100 pelaut, ia berhasil mengalahkan pasukan Kerajaan Aztec yang menguasai daerah Meksiko di tahun 1500-an. Strateginya juga sama, membakar kapal yang mereka gunakan, menciptakan point of no return.

No More Highway, More Public Transport

Nah apa hubungan kisah ini dengan Jokowi? Jokowi bisa mencontoh sikap ekstrim ini dalam membenahi sistem transportasi publik Jakarta. Kebijakan yang setengah-setengah selama ini dalam pembenahan transportasi oleh gubernur-gubernur DKI sebelumnya mengakibatkan DKI Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia, tidak memiliki sistem transportasi publik yang bisa diandalkan. Lihat saja busway Trans Jakarta. Jumlah bus yang minim, waktu tunggu yang sangat lama, dan jalur yang masih bisa dimasuki kendaraan pribadi (bahkan pada situasi tertentu polisi lalu lintas menganjurkan kendaraan pribadi masuk jalur ini karena macet yang luar biasa) mengakibatkan sistem transportasi publik ini gagal menarik sebagian besar pengguna mobil pribadi. Di samping itu pengguna mobil pribadi semakin dimanjakan dengan tarif parkir dan tol yang relatif murah, BBM subsidi, dan harga mobil yang makin murah. Menggunakan mobil pribadi masih menjadi pilihan rasional dan walaupun kondisi jalan macet di sana sini, masih bisa ditolerir oleh kelas menengah Jakarta, karena opsi transportasi publiknya tidak menarik dan dapat diandalkan. Hati yang setengah-setengah dalam mengurus busway mengakibatkan delapan tahun investasi seakan sia-sia. Membangun 6 ruas tol dalam kota yang baru adalah kebijakan yang setengah-setengah.

Kebijakan yang setengah-setengah selama ini dalam pembenahan transportasi oleh gubernur-gubernur DKI sebelumnya mengakibatkan DKI Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia tidak memiliki sistem transportasi publik yang bisa diandalkan

Perlu kebijakan radikal untuk mengondisikan penggunaan transportasi publik sebagai pilihan rasional mayoritas warga Jakarta. Hal yang biasa diterapkan di kota-kota metropolitan dunia adalah strategi stick and carrot bagi pengguna mobil pribadi. Menyediakan dan memperbaiki sistem transportasi publik sehingga menjadi lebih nyaman, aman dan tepat waktu, dan pada saat yang bersamaan buatlah pilihan menggunakan kendaraan pribadi menjadi tidak nyaman lagi, mahal dan boros waktu.

Di Singapura misalnya, stick and carrot ini diberlakukan dengan membuat aturan kepemilikan mobil yang sulit dipenuhi karena biayanya yang tinggi sekali. Selain itu usia mobil dibatasi hanya 5 tahun. Tarif parkir juga dikenakan tinggi dan jalan-jalan utama pada jam-jam tertentu dikenakan tarif ERP (seperti tol). Akibatnya mayoritas warga kota, termasuk kelas menengahnya memilih menggunakan MRT dan bus daripada memiliki mobil pribadi. Hal yang sama terjadi di kota-kota metropolitan lainnya di dunia, dengan variasi kebijakan yang mungkin sedikit berbeda tapi tujuannya sama: jadikan transportasi publik sebagai pilihan yang rasional.

Pembangunan 6 ruas tol dalam kota yang baru akan kembali menjadi kebijakan setengah-setengah yang lain. Walaupun tol dalam kota ini disyaratkan Jokowi untuk bisa dilewati oleh angkutan umum seperti bus Trans Jakarta atau Kopaja misalnya (selama ini bus Patas AC juga bisa lewat tol dalam kota), tujuan menjadikan transportasi publik pilihan yang rasional tidak akan tercapai karena pengguna mobil pribadi tetap bisa menggunakan jalan tol tersebut. Coba Menteri PU sebagai yang punya hajatan proyek ini ditanya untuk siapa 6 ruas jalan tol ini dibangun? Jawabannya pasti untuk pengguna mobil pribadi, walaupun dengan alasan yang mutar-mutar.

Jokowi mesti “membakar kapal” dengan menolak proyek jalan tol dalam kota ini. Biarkan pengguna mobil pribadi merasakan kemacetan yang luar biasa, namun di saat persamaan Pemda harus menyediakan transportasi publik yang layak pakai bagi mereka, yang bisa menembus kemacetan di jalan. Dengan demikian perpindahan pasti akan terjadi dengan sendirinya. Silakan pakai MRT/monorel/bus untuk survive atau mobilnya “mati” total di jalanan. Mau macet di dalam mobil atau pindah naik MRT bawah tanah?

Kekuatiran-kekuatiran seperti: ah MRT kan makan waktu untuk dibangun, masih lama baru jadi solusi sementara ini bagaimana, memang perlu ditanggapi. Namun jawabannya jelas bukan dengan membangun jalan tol dalam kota yang baru, yang jelas juga makan waktu (lihat saja Jalan Tol Antasari-Casablanca). Lagipula membangun jalan tol dalam kota dan MRT secara bersamaan akan menyebabkan kemacetan yang luar biasa. Satu saja sudah mengganggu apalagi dua. Mesti ada pilihan untuk hal ini dan pilihan mestinya jatuh ke kepentingan orang banyak, kepentingan publik. Semakin menunda membangun MRT, semakin mahal biayanya di masa depan. Semakin menunda penyediaan transportasi publik, semakin Jakarta tidak layak huni.

Solusi sementara waktu selama menunggu pembangunan koridor MRT dan busway yang baru bisa dengan pengadaan armada busway tambahan, implementasi kebijakan nomor plat ganjil/genap dan pengenaan tarif ERP di jalur-jalur macet. Bisa juga dengan menaikkan tarif parkir sehingga perlahan-lahan warga Jakarta akan membiasakan diri untuk meninggalkan penggunaan kendaraan pribadi. Lebih baik lagi bila BBM subsidi bisa dihentikan supply-nya ke Jakarta. Banyak cara untuk menyiasati problem transportasi karena manajemen transportasi adalah sebuah seni, yang tidak memiliki hanya satu solusi.

Dengan menolak proyek jalan tol dalam kota ini, Jokowi bisa fokus penuh membangun sistem transportasi publik yang terintegrasi. Investor bisa dialihkan untuk mendukung proyek-proyek transportasi publik seperti MRT, monorel, penambahan armada dan koridor busway yang baru daripada membangun jalan tol baru. Dengan “membakar kapal” pengguna kendaraan pribadi, mau tidak mau mayoritas warga Jakarta harus maju, menuju pada penggunaan transportasi publik. Dengan penggunaan transportasi publik yang makin banyak, Jokowi bisa punya modal yang lebih kuat lagi untuk mengembangkan jaringan transportasi publik sehingga visinya tentang Jakarta Baru:

Kota modern yang tertata rapi, menjadi tempat hunian yang layak dan manusiawi, memiliki masyarakat yang berkebudayaan, dan dengan pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik tidak lagi sekedar slogan kampanye, tetapi memang sangat mungkin teraktualisasikan.

Pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik akan fokus ke pelayanan publik, bukan ke tuntutan mobilitas kendaraan pribadi. Menolak pembangunan jalan tol dalam kota untuk saat ini dan ke depan adalah strategi membakar kapal. Dengan demikian Pemda DKI dan seluruh warga Jakarta dapat fokus pada satu tujuan ke depan: Jakarta harus memiliki sarana transportasi publik yang digunakan mayoritas warganya, sebagaimana kota-kota modern lainnya di dunia.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

METODE PENAMBANGAN BAWAH TANAH - UNDERGROUND

FRIENDSHIP CARING

Jakarta-Bangkok-Siem Reap