RELATIONSHIP
Dalam permainan golf ada pepatah “If you don’t take the game seriously, it is no fun, but when you take it too seriously, it will break your heart”. Jika emosi kita terlalu terkait dengan permainan ini, maka akan sering terjadi hal-hal yang menyakitkan hati. Sebaliknya tanpa menjiwai permainan golf maka kita tidak merasakan “fun” yang dapat mengangkat spirit jiwa kita.
Hubungan antar manusia, baik keluarga, family, kawan, kerabat, di kantor dan dimanapun merupakan sumber kebahagiaan sekaligus sumber frustrasi, pleasure and pain. Terkadang kita tidak habis pikir bagaimana berkomunikasi di rumah, ataupun di kantor karena seringnya terjadi konflik, baik dengan pasangan kita, anak, orang tua maupun rekan di kantor.
Sebaliknya, di luar sana selalu saja ada orang yang terlihat selalu ceria, bisa berkomunikasi dengan
siapapun, baik di kantor, di pesta ataupun di rumah tangganya. Semua karyawan yang bekerja di
departemennya dapat merasakan aura positif dan gembira, juga para sahabat, bahkan orang yang baru
kenal. Saya percaya bahwa individu-individu yang memiliki “beautiful mind”, dimana orang tidak hanya merasakan keberadaannya secara fisik (ganteng cantik), tapi juga dikenal berhati baik dan bersahabat itu bukan sekedar keberuntungan atau bawaan dari lahir, namun bisa dipelajari.
Kunci bahwa memikirkan “orang lain” di luar diri kita, yang nantinya akan menjadi sahabat kita, tidak hanya “acquaintance” atau sekedar kenal, tapi sebagai “friend”- teman dan sahabat. Bagaimana kita merefleksikan bahwa hubungan antar manusia merupakan “echo of life”, selalu kembali kepada kita seperti yang kita berikan kepada “orang lain”. Dimanapun kita berada, akan menjadi bersinar, “bloom where you are planted”, dan sinar yang paling indah didapat apabila kita bersinar bersama para sahabat kita.
Chapter 3 – Bab 1
1. Bersahabat
Kekerasan, kealotan, kekasaran adalah lapisan-lapisan luar kepribadian seorang manusia. Galilah diri Anda lebih dalam lagi, dan Anda akan menemukan kelembutan dan kasih saying
Anonim
Pepatah Cina mengatakan “seribu kawan tidak cukup, tapi satu orang musuh terlalu banyak”, menunjukkan bahwa dalam kebijakan kuno, persahabatan atau pertemanan dipandang sebagai suatu aset yang sangat besar. Sebagai hakikat dari manusia seutuhnya kita dapat memulai bersahabat dengan diri kita sendiri, kemudian dengan keluarga, rekan-rekan sekolah atau kerja, lapisan lebih luar adalah bos kita atau orang-orang baru di sekeliling kita. Ada suatu contoh dari teman saya yang selalu berdandan rapi dengan dasi Armani, sepatu Gucci, jam rolex dan mobil BMW seri 5-nya. Tapi suatu hari dia berkata kepada saya bahwa sangatlah susah buat dia untuk mendapatkan “real friend” dimana dia bias berbagi kesenangan dan masalah. Hati kecilnya bertanya-tanya bagaimana mungkin Sidik yang berasal dari kota kecil, hanya mengendarai Yamaha bebek ke kantor, namun sangat populer di kalangan teman sekerja dan di gereja? Bukankah seharusnya setiap orang lebih suka berkawan dengannya, yang terbukti sukses, modern, ganteng dan suka mentraktir?
Menjawab pertanyaan yang hampir sama tentang “friendship”, Andrew Mathew seorang kartunis dari
Australia mengatakan “if you want friendship, you must be a friend first”. Anda harus mau bersahabat dengan diri sendiri dulu, sebelum bersahabat dengan orang lain. Memandang positif terhadap diri dengan memiliki sifat positif seperti jujur, penuh komitmen, berani, penuh perhatian secara alamiah dan tidak dibuat-buat, murah hati dan rendah hati. Mau membuka diri, mengubah
dan mengoreksi diri untuk mencapai hal-hal tadi. Jika sudah dapat bersahabat dengan diri sendiri, baterai diri telah penuh, merasa positif, maka secara otomatis siapapun akan senang dan aman berada di sekeliling Anda dan menjadi sahabat. Dasar empati untuk memberikan yang terbaik agar kita menerima yang terbaik adalah saran yang sangat penting.
Beberapa tingkat persahabatan dimulai dari diri kita sendiri. Bagaimana mensyukuri apa yang kita dapat; kemudian dengan orang lain, dan tingkat paling tinggi adalah persahabatan pada level spiritual yang dikenal sebagai pasangan jiwa (soul mate) dan setara dengan ajaran Tuhan untuk mencintai Tuhan dan sesama manusia seperti mencintai diri sendiri.
1. Bersahabat dengan diri
Perasaan terdalam terhadap diri kita dikenal secara psikologis sebagai “self esteem” atau dikenal juga
sebagai “self image”. Seseorang yang menilai dirinya dengan positif, akan mampu bersahabat dengan dirinya, sehingga energi positif dan aura yang baik terpancar melalui pikiran dan perilakunya. Akibatnya akan membuat orang di sekeliling merasa nyaman, sehingga orang tersebut disukai banyak orang. Pernahkah Anda menjumpai seseorang yang selalu mengalami musibah, kesulitan uang, dihipnotis, berjalan dan masuk ke got? Bagaimana perasaan Anda ketika bertemu dengan orang yang selalu berbicara hal-hal negatif terus? Setelah berbicara dengan mereka bukannya kita menjadi gembira tapi menjadi ikut “tersedot” ke pada problemnya dan menjadi capek, semangat kita ikut terseret turun.
Pernyataannya:
- Kenapa aku kok “sial” terus, saya sudah lakukan yang terbaik tapi kok salah terus?
- Saya nggak mengerti kenapa musibah ini menimpa saya terus menerus?
- Saya memang begini adanya, harus mengalami godaan, sudah di-PHK, masih harus sakit lagi.
- Yah, memang saya ditakdirkan jadi orang kecil, “balung kere”, lain dong sama kamu yang begitu lahir “jebret” semua sudah ada.
- Rasanya saya tidak bisa memilih teman dengan baik deh, selalu aja ada yang menipu saya.
Sebaliknya apabila memiliki teman yang optimistis dan memiliki percaya diri, “fun and happy”, maka kita akan betah untuk berjam-jam bersamanya. Setelah selesai berbicara dengannya semangat kita menjadi “terangkat”, senang, tertantang untuk lebih maju? Orang yang punya energi positif tersebut memberikan rasa nyaman buat lingkungan sekelilingnya dan setiap orang dapat
mempelajari sesuatu darinya. Sering sekali kita membandingkan diri dengan rekan
ataupun idola, dan merasakan bahwa kita jauh lebih “inferior”, kalah dari rekan-rekan sehingga kurang percaya diri dan “minder”. Akibatnya dalam membawakan diri menjadi kurang yakin dan tentunya akan mempengaruhi cara pandang orang lain terhadap kita.
“Self image” ini sendiri biasanya terbentuk secara di bawah sadar, akibat perlakuan orang di sekeliling yang tidak memberikan lingkungan positif, baik semasa kecil maupun di sekolah/di kantor. Sebaliknya ada rekan kita yang sangat berapi-api menunjukan superioritas ataupun
keunggulan dirinya sehingga terasa “over confidence” dan malah membosankan. Mereka tidak menyadari bahwa sifat ini menunjukan kerapuhan emosi, sehingga mengakui kelemahan akan sangat menakutkan bagi mereka. Untuk itu, perlu adanya keseimbangan “mencintai diri”
dalam tahap yang wajar dan tidak berlebihan, agar mampu dan berani dalam mengekspresikan diri serta bergaul dengan teman/lingkungan baru.
Beberapa tips untuk bersahabat dengan diri kita sendiri antara lain :
- Melihat dunia sebagai cermin kehidupan Hidup adalah cermin atau refleksi dari apa yang kita
percaya, sikap dan ekspresi emosi. Adanya masalah yang harus dihadapi merupakan pelajaran atau pesan sehingga kita arif dan bersabar menghadapi masalah. Beberapa contoh kehidupan yang merupakan cermin dari apa yang kita percaya atau perbuat adalah sbb:
• Jika kita terlalu banyak mengkritik diri sendiri, kurang ini, kurang itu, suka menyalahkan diri, maka
orang lain akan mengkritik atau menyalahkan kita setiap saat
• Jika kita suka menyiksa perasaan sendiri, ataupun menipu diri maka tidak jarang banyak orang lain yang suka menyiksa perasaan kita bahkan mungkin secara fisik dan menipu kita
• Jika kita tidak mau mendengarkan suara hati dan “feeling”, jangan salahkan orang lain yang tidak mau mendengarkan nasihat kita
• Sebaliknya jika kita mencintai diri, percaya diri, jujur terhadap diri, maka orang lain akan melakukan hal yang sama unutk percaya, cinta dan jujur kepada kita
• Jika kita menghormati dan menghargai diri, maka
orang lain juga akan melakukan hal yang sama
• Jika kita seorang yang percaya bahwa “gentle and compassionate” adalah hal yang penting, maka hamper setiap orang akan sopan, penuh empati dan memperlakukan kita dengan hati yang tulus
- Jika kita sedang berbicara dengan diri sendiri (“self talk”), disarankan untuk mengingat metoda “what to say when you speak to your self”. Biasakanlah berbicara dan berpikir yang positif.
Bayangkan apabila kita menjadi pesawat terbang yang menghadapi cuaca buruk. Bila kita menenangkan diri bahwa semua sistem di dalam kontrol, dan pasti akan mampu melalui badai, maka kita akan lebih tenang. Sebaliknya apabila panik, takut dan berpikir negatif, apalagi menyebarkan “virus negatif” tersebut ke sekeliling kita misalnya kepada para penumpang, maka yang akan terjadi adalah kepanikan dan kekacauan. Dalam keseharian, kita adalah pilot untuk kehidupan kita, maka biasakan untuk berpikir positif dan optimistis.
- Jangan terlalu sering membandingkan diri dengan orang lain Terimalah kelebihan dan kekurangan kita, dan untuk mendapatkan “feed back” kita boleh mempertimbangkan input dari orang lain. Misalnya kita terlalu suka mengeluh, pemarah, kasar dan sebagainya. Apabila hal tersebut benar dan kita percaya lalu mengubahnya. Namun yang penting dalam memilih untuk bersahabat dengan diri adalah mencintai diri kita secara wajar. Dengan mencintai diri, maka akan terjadi dorongan positif “percaya diri”, bersyukur dengan karunia Tuhan, sehingga dapat membawa hal positif kepada lingkungan kita. Sebaliknya jika kita terlalu mengkritik diri, kurang bersyukur, rendah diri, dan tercermin pada perilaku kita, maka lihatlah tips pertama tentang cermin diri.
- Miliki “rasa humor”, jangan menganggap diri kita terlalu serius. Bayangkan apabila kita berada di sebelah orang yang selalu membanggakan dirinya. Dia selalu mengatakan, “Kalau saya… kalau saya…” Hanya perhatian kepada kehebatanya, apa yang dicapainya, sepatunya, antingnya. Dunia berpusat pada dirinya, lipstiknya, tidak bisa dikritik. Maka siapa yang mau berlama-lama di dekatnya? Juga jangan terlalu perasa (“over sensitive”) terhadap apa yang dikatakan/diperhati kan
oleh orang lain karena hal tersebut malah akan menyakitkan hati dan merugikan diri sendiri.
- “Love your own body” Selain mencintai jiwa, bersahabat dengan tubuh juga sangatlah perlu. Pepatah mengatakan “Your body is your temple”, jadi kita harus menjaga tempat ibadah kita dengan baik. Menjaga tubuh diwujudkan dengan menjauhkan diri dari “racun” seperti rokok, alkohol, ataupun melindungi tubuh kita secara jangka panjang dari penyakit jantung, diabetes, kanker dengan diet berimbang, tidak mengkonsumsi gula berlebihan, mengurangi “junk food” seperti “hamburger, hot dog”, minuman manis berkarbonasi, mengurangi makanan kaleng yang mengandung bahan-bahan penyebab kanker (“carsinogenic” ) seperti nitrat, yang memberi warna merah pada daging olahan. Sebaliknya makanan dari bahan organik segar seperti buah, sayur, putih telur, ikan, daging segar tanpa lemak, makanan yang direbus atau dibakar dan bukan digoreng, minum air putih yang cukup, istirahat dan olah raga yang cukup terbukti menjadi masukan yang baik untuk tubuh sehingga tetap fit dan segar. Dengan tubuh yang kuat dan jiwa yang sehat, maka hidup kita akan menjadi penuh makna untuk diri sendiri dan orang di sekeliling.
Seperti juga di bidang marketing, “brand image” merupakan sesuatu persepsi dari konsumen tentang suatu brand. Seperti apa merk tersebut dikenal dan diasosiasikan oleh konsumen? Maka untuk memiliki “brand image” yang baik, kita harus mau dan mampu melakukan kegiatan untuk meningkatkan “brand awareness” yaitu menyadari hal positif dari diri kita; “brand association”, melakukan asosiasi diri dengan murah hati, suka menolong dan jujur; “Brand loyalty”, mau disiplin dan berpegang teguh kepada nilai kejujuran dan keluhuran tinggi; dan “Perceived Quality”, selalu menjaga kualitas dan harkat sebagai manusia yang baik dan bermakna kepada orang sekeliling kita.
Akhir kata, kita ingat bait dari suatu lagu populer dari Whitney Houston: “LEARNING TO LOVE YOURSELF IS A GREATEST LOVE AT ALL” Itu memang benar!!!2. Make friendsssssss
Setelah mampu memiliki “love self” untuk menerima diri apa adanya, lebih mudah bagi kita untuk
mempraktekkan lebih lanjut empati kepada orang lain, sehingga kita akan mendapatkan banyak sahabat. Sebagai kunci adalah hati nurani yang tulus untuk mendapatkan banyak sahabat dan melakukannya tanpa pamrih. Beberapa tips untuk persahabatan yang baik adalah sebagai berikut:
- PUJIAN YANG TULUS
“Wah kamu hebaaat sekali deh.. Bank Mega jadi tambah profesional dan maju pesat setelah kamu jadi Direktur Utama” “Gilee, lama nggak ketemu kok tetap muda aja…”
“Wow, sudah jadi Profesor, tapi tetap ramah dan baik hati seperti dulu…”
Ungkapan di atas dengan tulus saya ucapkan kepada sahabat, seperti pak Yungki Setiawan yang menjadi Direktur Utama Bank Mega, atau kepada kakak kelas sekaligus teman satu kost di Bogor, Profesor Antonius Suwanto Phd. Msc., yang telah menjadi ahli di bidang mikrobiologi, menjadi dekan mikrobiologi dari beberapa universitas, serta konsultan di Charoen Pokphand dengan spesialisasi penelitian flu burung.
Bayangkan betapa senang saya dapat bertemu mereka kembali setelah sekian lama tidak berjumpa. Apalagi Profesor Suwanto yang secara tidak sengaja bertemu di Bangkok pada saat saya bekerja sebagai Regional Category Director Electrolux SEA. Pujian yang tulus selain memberikan kebahagiaan dari yang memberi sekaligus juga memberikan kesenangan kepada yang menerima. Semenjak pertemuan terakhir, baik Pak Yungki dan Pak Suwanto suka saling bertukar SMS dan
menelepon baik urusan bisnis maupun pribadi. Pengalaman saya sebagai guru SMA Regina Pacis di
Bogor tahun 1982 s/d 1985 semasa saya berkuliah juga menunjukkan “value of praise”. Kebetulan saya mengajar Matematika untuk jurusan IPS. Ternyata dengan memberikan pujian yang tulus, beberapa anak yang kurang menyukai pelajaran matematika dan bahkan suka mengisengi temannya menjadi rajin dalam membuat PR dan belajar matematika. Nilai mereka melonjak dari 5 atau 6 menjadi 8.
Ada juga seorang anak bernama Sunardi yang meskipun masuk jurusan IPS justru sangat menyukai bidang matematika dan ingin masuk FMIPA di IPB jurusan matematika. Pujian yang tulus juga menumbuhkan kreativitas untuk menulis surat kepada Alm. Prof. Andi Hakim Nasoetion tentang minat Sunardi, dan suatu hari saya mendapat informasi bahwa Sunardi telah diterima menjadi mahasiswa IPB jurusan Matematika. Pujian atau komplimen adalah sesuatu yang “gratis”
dan tidak perlu ongkos. Apabila sudah pelit memberikan pujian, pasti pelit juga dalam memberikan yang lain (perhatian, bantuan, uang). Pujian akan selalu menyenangkan baik pihak yang memberi maupun yang menerima karena menyentuh dasar hati kita masing masing (“nourishing the soul”). Siapapun orangnya, pasti akan merasa “positif” apabila kita memberikan pujian atau komplimen, karena semua orang memiliki ego untuk dikenal dan dihargai. Sebaiknya kita tidak ragu-ragu untuk memberi komplimen atau memuji kawan secara langsung. Bnyak orang tidak dapat melakukan ekspresi pujian dengan baik, dan hanya memuji dalam hati. Terkadang saya melihat bahwa orang berbudaya barat lebih mampu untuk memberikan pujian yang spontan, seperti “You are so beautiful honey”; “the more I learn about You the more I love you”, “You are so charm and kind hearted”. Nah wanita mana yang tidak merasa “terbang” dengan pujian-pujian semacam itu?
- GEMA KEHIDUPAN “ECHO OF LIFE”
Apabila kita berada di perbukitan dan berteriak “HEI….”, maka tidak lama akan terjadi gema suara yang kadang kala diperkuat dengan resonansi. Bunyinya ”HEI…HEi… Hei… hei…”. Itu adalah refleksi bahwa apa yang akan kita dapat berdasarkan pada apa yang kita berikan. Apa yang kita berikan biasanya kembali dengan berlipat ganda seperti gema tadi. Satu HEI berbalik empat, lima atau enam gema. Hukum alam mengatakan, apa yang kita tuai berdasarkan apa yang kita tanam.
Coba lihat seseorang yang sukses memilih teman dan bersahabat. Saya yakin Anda setuju, bahwa orang tersebut memiliki keahlian ataupun sikap sebagai berikut:
- Mau dan mampu menjadi pendengar yang baik.Mampu untuk mendengarkan orang lain berbicara butuh keahlian. Bagaimana perasaan kita apabila memiliki teman bicara yang 100 % memberikan perhatian kepada kita tanpa terpecah? Tidak menyalahkan, namun mendengarkan dulu baru kemudian memberi komentar? Pengalaman saya dalam pergaulan sehari-hari atau dalam
meeting kelompok mengajari saya, untuk mau mendengarkan pendapat orang lain, karena sedemikian
banyak orang yang secara emosional ingin didengar. Pernahkah kita mengikuti suatu seminar dan pada sesi tanya jawab ada orang yang mengajukan pertanyaan, namun setelah berbicara lebih dari 10 menit, ternyata orang tersebut hampir tidak bertanya apapun? Yang ia lakukan adalah mengekspresikan dirinya atau pendapatnya agar didengar banyak orang. Nah ternyata
hampir di 90 % acara seminar ataupun training yang saya ikuti baik di Indonesia maupun di luar negeri seperti Asia, Australia atau di Eropa selalu saja ada orang seperti ini.
Jadi tidak heran bila kita memiliki kemampuan untuk mendengarkan, maka akan mudah untuk mendapatkan banyak sahabat. Apalagi mendengarkan secara aktif dan tidak memberi penilaian atau “judging” dahulu sebelum mereka menyelesaikan kalimatnya. Keahlian untuk mendengarkan ini juga sangat cocok untuk dilakukan di rumah terhadap pasangan, anak, orang tua, atau di kantor dengan para rekan sejawat.
- Bersimpati dan berempati
Dengan mau mendengar secara aktif, penuh perhatian, maka biasanya seorang yang memiliki banyak sahabat punya perhatian khusus berupa simpati dan empati, yaitu menempatkan dirinya di dalam situasi yang sama. Beberapa kata kunci seperti:
• Saya tahu, perasaan kamu pasti sedih dan kecewa dengan kejadian ini.
• Memang kalau punya pacar yang cakep suka membuat kita makan hati.
• Ya begitulah risikonya kalau kita terlalu percaya kepada apa kata orang, kan kamu jadi tidak enak
sendiri sudah bersikap keterlaluan kepada dia.
• Memang kadang kala kita mengalami musibah dan godaan terus menerus, tapi kita harus tetap tabah.
• Kalau kejadian tersebut menimpa saya, maka pasti saya akan marah seperti kamu juga.
Terkadang pada saat emosi sedang meninggi, maka fakta dan logika tidak dapat diterima dengan baik. Sebaliknya setelah merasa dimengerti, maka biasanya sahabat kita akan merasa lebih baik dan bias mendengarkan orang lain.
- Perhatian dan penghargaan (“Care and Respect”)
Saya pernah melihat konsumen melakukan “complaint” yang sangat keras dan dengan nada tinggi kepada seorang karyawan perusahaan rekan saya yang kebetulan memiliki bengkel servis mobil di Jogja. “Katanya janji jam 3 sore selesai, sekarang sudah jam berapa?? Saya kan ada janji lagi di luar kota? Kalau terlambat dan proyeknya batal emang kamu mau yang tanggung???” Katanya dengan nada tinggi dan cenderung berteriak. (Kebetulan bengkel sedang sangat ramai.
Sudah jam 4 sore mobil tersebut belum siap.) Mendengar teriakan tersebut dengan sigap Gatot Wijaya teman saya pemilik bengkel segera berlari dan menemui konsumen tersebut. “Wah maaf ya pak, ini betul-betul kesalahan kami, apalagi seharusnya kami tahu Bapak sangat sibuk dan ada janji lagi, segera pak akan saya tangani langsung supaya segera selesai.”
“Ya udah, tapi cepat ya,” Nadanya agak menurun, karena pemilik bengkel sendiri sudah menangani langsung, dan Bapak tersebut merasa lebih dihargai dan lebih nyaman.
Lima menit kemudian Gatot teman saya datang kepada Bapak tersebut sambil berkata, “Pak sudah saya tangani langsung, 15 menit lagi pasti selesai. Sekali lagi maaf ya pak kalau sampai membuat Bapak menjadi terlambat.” Berapa sering kita jumpai bahwa seorang yang sedang sangat marahpun akan mereda jika mendapat perhatian dan penghargaan. Dengan mempraktekkan kemampuan dan
kemauan untuk mendengarkan, simpati dan empati, perhatian dan penghargaan, maka otomatis akan
menyentuh hati orang lain, sehingga dapat dipastikan 95% lebih orang akan merasa nyaman dan tentu akan memberikan perlakuan yang sama baiknya.
Apabila kita jumpai banyak orang di sekeliling kita memiliki “aura negatif’ atau memberikan perlakuan yang kurang nyaman bagi kita seperti:
- Membosankan, karena cenderung bercerita tentang diri mereka.
- Mempermalukan orang lain , berkomentar negatif dan ingin menonjolkan diri.
- Pemarah, temperamental, menyalahkan orang lain.
- Suka cari sensasi dan perhatian, tidak mendengarkan orang lain.- Hobi mengkritik.
- Suka berbohong dan tidak berpegang kepada komitmen?
Maka kita akan dapat melakukan pengecekan terhadap diri kita sbb:
- Apakah saya terlalu suka menonjolkan diri dan hanya berbicara tentang saya… saya… saya tanpa memperdulikan orang lain?
- Apakah saya suka mengkritik dan mempermalukan orang lain? Termasuk tidak puas diri dan suka kurang bersyukur.
- Apakah saya sedang merasa kecewa atau marah kepada diri saya sendiri?
- Apakah saya suka tidak jujur terhadap diri sendiri sehingga menarik orang-orang yang suka berbohong dan tidak berpegang komitmen berada di sekeliling saya?
Hal-hal ini perlu dipertanyakan karena secara umum “negatif feeling” akan bertindak seperti magnet dan cenderung membuat orang lain berbuat hal yang negative kepada kita. Setelah mengecek diri sendiri dan jawaban sebagian pertanyaan itu adalah YA, maka kita dapat segera mengubahnya dengan melakukan hal-hal positif, mempercayai kata hati dan menghilangkan hal negatif. Sebaliknya apabila sebagian jawaban dari hal-hal tersebut adalah TIDAK, dan kebetulan yang berbicara adalah kawan yang kita kenal dengan baik, maka kita dapat bersifat lebih tegas , misalnya:
- Hei, saya senang ngobrol dengan kamu, tapi kalau boleh kasih input: “Kamu jangan bicara terus tentang kehebatan kamu dong, bosan nih dengerinnya”.
- Ya, orang kan ada lebih dan kurangnya, kalau menurut kamu dia selalu salah kasian dong.
- Maaf ya, kalau marah-marah terus saya jadi tidak bisa konsentrasi dan kasih saran, nanti aja kalau
sudah tidak emosi kita bicara lagi.
- Kita harus lebih mempercayai kata hati apabila ada perasaan bahwa orang tersebut akan tidak jujur atau membohongi kita.
Sebagai kawan, kita patut untuk memberikan input atau “feed back” kepada mereka agar memperbaiki diri, karena secara umum, tidak banyak orang yang tahu akan kekurangan mereka sendiri dan tidak banyak sahabat yang mau memberikan input dengan jujur. Sebaliknya apabila yang bersikap tersebut adalah orang yang kita baru kenal atau sekedar kenalan, bukan sahabat, maka seperti menonton televisi, kita dapat mencari “channel” atau siaran yang lain dengan meninggalkan mereka. Karena berada di sekeliling orang yang memiliki sikap negatif akan “menyerap” energi dan spirit kita. Sebaliknya apabila kita memiliki kawan yang memiliki sifat seperti:
- “SPEAK TO STRANGER”
Sejak kecil sampai di sekolah anak-anak diajarkan untuk tidak berbicara kepada orang asing sembarangan. Tapi ada satu pepatah “if you don’t speak to a stranger, you will never make a new friend”. Padahal kita tahu bahwa berteman dengan “teman yang baik” akan saling menumbuhkan kita bersama. Dalam kehidupan kita sehari-hari, cobalah melakukan perhitungan tentang jumlah kawan. Misalnya kita dapat menyebutkan 10 orang teman dekat atau sahabat yang benar-benar dapat berbagi. Cobalah melakukan “listing”.
- Berapa banyak diantara mereka adalah teman SMA?
- Berapa banyak yang merupakan teman kuliah?
- Berapa banyak yang kita kenal melalui kenalan atau
dari hobi yang sama?
- Berapa kawan baru yang kita kenal kurang dari 5 tahun?
Jawabannya akan sangat bervariasi tergantung dari umur atau sifat kita, namun secara umum banyak sahabat yang kita punyai dulunya adalah “stranger” atau orang yang tidak kita kenal. Dan ternyata orang-orang yang dahulunya asing ini dapat menjadi teman dekat bahkan seperti saudara.
Saya beruntung memiliki teman-teman baru seperti Pak Sutikno Muliadi, yang saya kenal di lapangan Golf Sawangan 6 tahun lalu, seorang wiraswastawan yang hebat. Pak N. Hidayat, pemilik Bak Pia Patuk 75 yang saya kenal 6 tahun yang lalu. Jacob Bojsen, warga Denmark teman baru saya di Bangkok yang saya kenal 1 tahun lalu. Joacim Ek, warga Swedia yang juga baru saya kenal 2 tahun lalu.
Dari awalnya hanya sebagai kenalan, sekarang mereka menjadi sahabat yang dapat
saling mengisi dan berbagi. Tentunya juga masih banyak sekali sahabat lama yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu karena pada hakekatnya teman sejati tak lekasng oleh panas dan tak luntur oleh hujan. Pada saat pertama kali berbicara dengan “stranger” baik pria maupun wanita, pada umumnya ada perasaan “insecure”, takut atau malas untuk memulai percakapan.
- Kalau saya mulai bicara dahulu dan di-cuekin malu dong.
- Wah cewek yang lagi minum wine sendirian pakai rok merah itu kelihatannya “so cool” dan “confident” ya. (padahal wanita tersebut sedang merasa “insecure” , karena merasa kurang cantik, kurang pintar, tidak punya teman pria meskipun sudah berusia matang).
Untuk itu apabila kita berada di suatu acara baik resmi maupun tidak resmi, di meja bundar, pesta
berdiri, tempat olah raga, disarankan untuk:
- Dengan hati terbuka dan mengembangkan senyum, jangan ragu-ragu untuk mendatangi kenalan baru dengan mengatakan “Hallo, apa khabar, Saya….. ingin berkenalan dengan anda”. (Apabila kenalan baru tersebut memberi sambutan positif, maka kita dapat memulai dialo g yang wajar, tapi bila tidak ada respon positif, janganlah berkecil hati atau sakit hati, toh
tadinya juga tidak mengenal orang tersebut). Bila mendapat sambutan yang baik, maka komunikasi
dapat dilanjutkan, dan ingatlah tips tips diatas tentang gema kehidupan . Untuk itu disarankan agar:
- Memilih topik pembicaraan yang sesuai dengan interest kita, bukan hanya menonjolkan diri.
- Memberi perhatian penuh, mau mendengarkan, “caring”.
- Memberi rasa hormat dan penuh percaya.
- Menggunakan “yes but… “ tehnik apabila dirasa perlu untuk tidak setuju ataupun memiliki pandangan yang berbeda. Memiliki kawan atau sahabat sebanyak-banyaknya sangatlah disarankan. Kita juga memiliki hak sepenuhnya untuk memilih kawan baru yang benar-benar dapat menjadi “friend” ataukah hanya sekedar “acquaintance” atau kenalan. Ikutilah suara hati dan feeling Anda.
Apalagi jika menemui “sahabat” yang hanya menggunakan kita untuk kepentingan mereka atau “abusing friend” yang suka memojokkan kita ke dalam situasi yang tidak nyaman. Kita bisa bersikap lebih tegas kepada diri kita untuk meninggalkan mereka. Ada pepatah “You are what surround you”, jadi apabila hati merasa tidak nyaman dalam lingkungan tersebut, maka kita bias mengatakan tidak atau menolak untuk berada di dalam lingkungan tersebut.
3. Sahabat Jiwa (Soul mate)
Pernahkah Anda begitu bersemangat bertemu dan berbicara dengan sahabat, baik pria maupun wanita? Anda demikian “involve dan excited” dengan topik yang dibicarakan baik itu problem maupun peluang bisnis. Semua kreativitas dan perhatian dicurahkan. Apabila ya, maka Anda bisa yakin bahwa mereka adalah sahabat jiwa anda (“soul mate”). Tidak semua sahabat jiwa bias seberuntung pasangan Anda (umumnya suami atau istri kita adalah sahabat jiwa kita), tapi persahabatan tersebut akan terbawa terus sampai akhir hayat.
Sahabat jiwa akan saling mendukung, memberikanperhatian, mengerti dan memberikan dukungan pada saat kita mengalami kondisi pada titik rendah. Sahabat jiwa juga memberikan kepercayaan, hormat dan menghargai usaha yang kita lakukan. Apabila menemukan banyak sahabat jiwa ini, maka percayalah bahwa kita adalah orang yang sangat beruntung di dunia. Kita akan tumbuh bersama mereka, tulus, tiada iri dan dengki.
Kita juga akan merasakan suatu aliran “positif energy” yang mengangkat semangat dan mengaliri jiwa. Intensitasnya akan terus jika bertemu dengan sahabat jiwa, baik kenalan baru atau sahabat lama. Secara alami kita akan mengalami kebahagiaan dalam melakukan kontak hubungan dengan mereka karena tidak hanya secara “form” kita bertemu mereka, namun level jiwa juga beresonansi memberikan suatu harmoni. Untuk menjaga agar api tidak padam, disarankan agar kita tetap berhubungan dengan mereka secara teratur, entah pada saat ulang tahun mereka, meluangkan waktu
untuk makan siang ataupun “just a simple call”. Yang tidak boleh kita lupakan adalah Tuhan sebagai sahabat jiwa, karena kita hanya perlu menutup mata dan berlutut, maka sudah dapat berkomunikasi dengan-NYA, untuk melakukan “sharing”, menangis, bergembira dan mohon tuntunan-NYA.
untuk lebih lengkapnya baca: Manajemen Berbasis Nurani (terbit akhir Desember 2006).
Komentar