Takdir atau Nasib???

Banyak yang bertanya tentang takdir. Apa takdir itu dan apa perbedaannya dengan nasib? Sebenarnya jawaban dari pertanyaan ini masing-masing orang bisa mencarinya sendiri. Takdir itu sesuatu yang sudah terjadi, juga sesuatu yang ditetapkan Tuhan kepada setiap makhluk-Nya, kepada segala-galanya. Tak ada satu helai daun pun yang jatuh, melainkan Allah mengetahuinya. Karena seperti pada manusia, rezekinya, jodohnya, kematiannya, takdirnya telah dituliskan di Lauh Mahfuz, bagi mereka yang mempercayainya. Tapi apakah memang betul-betul saklek seperti itu? Mari kita lihat dulu.
Apa yang terjadi dan apa yang tertulis di dalam Catatan Tuhan itu, hanya Tuhan-lah yang mengetahuinya. Apa untungnya buat Tuhan, menciptakan Hitler yang menghabisi nyawa banyak orang, apa untungnya membuat Idi Amin, membuat Pol Pot, dan sebagainya? Tokh, manusia-manusia ini sebenarnya telah diberi peluang untuk bertaubat, untuk hidup, untuk menyadari kesalahan-kesalannya? Tuhan memberikan peluang, mempersilakan manusia untuk memilih yang terbaik bagi dirinya. Ingin mengotori jiwanya atau membersihkannya? Takdir dan nasib Tuhan adalah medan bagi manusia untuk berjuang. Untuk mengalahkan bagian dirinya yang membawa kepada keburukan.
Apa yang telah terjadi, selalu ada untung dan ruginya. Selalu ada nilai-nilai kebaikan dan kejelekan, bahkan pada perbuatan celaka sekalipun, selalu ada unsur nisbi, relatif, dalam pandangan setiap manusia. Itulah takdir Tuhan. Manusia hanya harus mengambil pelajaran dari apa yang sudah dan mungkin akan terjadi.
Kalau mengatakan takdir itu tidak bisa diubah, maka ini juga menyesatkan, karena hadits mengatakan, umur manusia bisa bertambah panjang dengan menjaga silaturahmi. Ini artinya umur manusia sekali pun tidak ada kaitannya secara langsung dengan takdir. Tokh, umur harapan hidup manusia yang sekarang ini, masih bisa bertambah jika dibanding umur harapan hidup manusia pada dekade-dekade yang lalu.
Apalagi tentang nasib, manusia bisa mengubah nasibnya, asalkan ia mau melakukannya. Nasib adalah sesuatu yang masih terjadi, masih akan terjadi, masih berjalan, dan masih menyimpan banyak kemungkinan. Itulah salah satu kesamaan takdir dan nasib. Kemungkinan! Peluang! Bisa berubah! Sedangkan perbedaan-perbedaannya, jelas sudah nampak. Takdir itu hak prerogatif Tuhan, sedangkan nasib itu hak prerogatif manusia. Tuhan bisa saja mengubah takdir yang belum diketahui manusia, belum terjadi, karena adanya usaha dari manusia itu sendiri, yang ingin dekat dengan-Nya, dengan melakukan apa yang dikehendaki-Nya dan meninggalkan apa yang dibenci-Nya.
Takdir itu seperti qadha dan qadar. Qadha itu sesuatu yang telah terjadi, dan qadar itu sesuatu yang Allah memastikan akan terjadinya. Qadha terjadi mencakup waktu yang azali atau dari sejak bermulanya waktu. Pengertian ini pun masih berbeda antar ulama yang satu dengan yang lainnya. Apalagi nasib, multicabang dan multitafsirnya lebih banyak lagi. Mungkin berkaitan dengan dosa warisan, karma, reinkarnasi, dharma, pahala, dan dosa, dan lain sebagainya. Intinya, apa yang terjadi pada manusia sekarang, adalah sebagian pengaruh dari manusia yang sebelumnya, ibu-bapaknya, kakek-neneknya, sejarahnya, pemimpinnya, masyarakatnya, dan lain-lain.
Takdir tidak berbeda jauh dengan qadha dan qadar Allah. Mana yang harus kita percayai? Tentu qadha dan qadar Allah, bukan? Karena itu merupakan salah satu rukun iman dalam Islam. Qadha dan qadar maknanya sebenarnya tidak jauh berbeda, karena di dalam Alquran pun sering disebut berbarengan atau dalam posisi yang tidak saling bertolakbelakang. Maknanya yaitu ketetapan (berupa sunatullah) dan juga hukum-hukum Allah.
Apa yang terjadi pada penciptaan langit dan bumi, itu qadha. Bumi ini berputar, itu qadha sekaligus qadar. Bumi dan alam semesta ini akan kiamat, itu qadar. Contoh sederhana dari pengetahuan qadha dan qadar dalam kehidupan ini misalnya, jika kita telah menikah dengan seseorang, itulah takdir dan juga qadha. Keadaan yang dihadapai saat akan menikah atau selama dalam pernikahan, itulah nasib yang bisa diperjuangkan atau diubah, diperbaiki dan akan mempengaruhi qadar, sejauh yang diizinkan Allah. Kemudian, bila orang yang kita nikahi itu meninggal atau kita telah menikah lagi, itu adalah takdir lain buat kita. Begitu pun bila kita yang meninggal, takdir telah menyapa kita untuk meninggalkan alam fana ini selamanya, hingga bertemu alam baka dan alam kekal di akhirat.
Pasangan yang sebenarnya dari setiap manusia, hanya Allah-lah yang mengetahuinya. Hanya Allah yang lebih paham, siapa tulang rusuknya siapa. Manusia diwajibkan berikhtiar, harus mengedepankan usaha, dan berdoa. Dalam Alquran disebutkan, perempuan yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik. Perempuan adalah pakaian untuk laki-laki, dan begitu pun juga laki-laki pakaian bagi perempuan. Jika perempuan adalah ladang yang subur, maka laki-laki adalah penaburnya yang adil.
Laki-laki dan perempuan di mata Allah adalah setara, siapa pun yang paling bertakwa, itulah yang paling didekatkan kepada-Nya. Pasangan setiap manusia menjadi cerminan bagi dirinya masing-masing dan dengan perkawinan, ada komitmen untuk saling mengerti dan memahami kekurangan dan kelebihan dari pasangan. Suka dan duka ditanggung bersama, saling mengingatkan, saling membesarkan hati.
Karena setiap manusia diciptakan berpasangan, Allah di dalam surah Al-waqiaah dan di surah-surah yang lain menjanjikan adanya bidadari (dan juga bidadara) bagi hamba-hamba-Nya yang shaleh, meski selama di dunia tidak menikah. Berpasangan tidak harus dan tidak mesti di dunia ini, karena bagi yang meyakini, dunia akhirat lebih pasti dan lebih kekal. Balasan apa yang ada di akhirat, lebih baik dari di dunia. Apa yang disediakan Allah di dalam surga-Nya, jauh lebih baik dari apa yang dapat dibayangkan oleh manusia, baik bentuk, jenis, dan mekanismenya.
Inti dari hidup ini sebenarnya adalah untuk beribadah sebaik-baiknya kepada Allah, percaya pada qadha dan qadar-Nya. Sedangkan menikah dan memiliki pasangan adalah salah satu dari sarana ibadah. Siapa yang ingin beribadah dengan baik, tentu saja harus menikah, bujang, perawan, atau bahkan yang sudah menjanda lagi atau menduda lagi, karena tokh sudah terputus ikatan pernikahannya, misalnya karena kematian, dengan segala amal ibadahnya pun putus, kecuali yang tiga saja, doa anak yang shaleh, sedekah jariyah, dan ilmu yang bermanfaat. Hanya saja ketika akan menikah lagi, ada aturan-aturannya yang harus diikuti. Menikah adalah melengkapi setengah dari agama, sebagian dari totalitas ibadah. Bisa dikatakan, bila telah menduda lagi, ibadahnya jadi setengah lagi. Tetapi pada yang belum menikah, beberapa sufi memiliki pendapat yang berbeda, ada yang menjalani hidup selibat atau tidak menikah. Mungkin itu sah-sah saja, karena tidak dilarang, terserah persepsi masing-masing asalkan ada dasarnya.
Pasangan hidup kita yang sebenarnya, serahkanlah dengan ikhlas kepada Allah, karena manusia dianugerahi perasaan cinta dan kasih sayang, serta pilihan. Kita harus sebaik mungkin berusaha mencintai dan menerima pasangan yang ada sekarang, atau berniat untuk belajar mencintai sehingga jodoh tidak lagi dipersulit, tetapi dimudahkan oleh Allah. Karena nanti di alam akhirat, masing-masing orang akan disibukkan oleh urusan sendiri-sendiri. Sibuk dengan perhitungan amalnya. Apa yang telah dilakukannya di dunia, harus dipertanggung jawabkan masing-masing. Bahkan setiap pasangan, suami dan istri, menjalani hisab yang berbeda-beda, begitu juga dengan anak dan orangtua, mungkin akan terpisahkan jarak. Adalah hak dan karunia Allah untuk kembali menyatukan pasangan hidup kita di dunia, menjadi pasangan hidup kita nanti di surga yang kekal. Aamiin.
Tiada daya dan upaya kecuali dari Allah, yaitu Allah mengetahui segalanya, memberikan semua kesempatan, semua sumber daya, tinggal manusia memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Wallahu’alam.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

METODE PENAMBANGAN BAWAH TANAH - UNDERGROUND

FRIENDSHIP CARING

Jakarta-Bangkok-Siem Reap