CINTA ITU..?

Ibarat Cinta
In All News, Esai, Islam, Kebudayaan, Lapak, Sastra dan Seni on 27 Agustus 2009 at 8:25 pm

Cinta itu ibarat apa, api atau air? Sekelumit kisah disuguhkan dalam “Musyawarah burung-burung” karya Fariduddin At-Tar. Seorang ahli ibadah suatu saat bermimpi, dia sedang menyembah patung di Yunani. Ahli ibadah itu penasaran. Bersama rombongannya dia mendatangi Yunani dan sampailah di suatu kuil dia melihat seorang wanita yang sangat-sangat cantik. Dia terpikat dan betul-betul terpikat. Dalam kisah itu, si Ahli Ibadah tersebut rela melepaskan seluruh atribut keagamaannya dan masuk ke agama si wanita. Namun, tetap ada yang tak tega dengan si ahli ibadah. Murid-muridnya berusaha melepaskan dia dari ketergantungannya akan cinta. Itu berhasil, walau dengan sangat bersusah payah. End of fragmen.

Mungkin cinta ibarat api. Selagi kecil ia menjadi kawan, namun sifat kodratinya tak bisa dihalangi. Api akan membakar seluruh zat hingga sekecil-kecilnya dan kemudian merubah zat itu menjadi suatu zat yang baru, suatu hakiki yang baru yang sama sekali lain dan tidak punya hubungan dengan zat asalnya. Api membakar, menghanguskan dan melenyapkan eksistensi, dan setelah itu menciptakan eksistensi baru.

Cinta juga demikian. Seorang pria dan perempuan bisa berubah 180 derajat menjadi makhluk yang lain dari yang semula diketahui orang. Dari pemalu bisa menjadi menjadi sangat ekstovert. Dari seorang yang ceria menjadi sangat murung. Cinta punya potensi membalikkan.

Mungkin itu ada hubungannya dengan posisi cinta itu diletakkan; dalam hati. Qalbu kata orang Arab berarti yang terbolak-balik dalam Indonesia. Semua bisa berbalik-balik dalam sekejap dengan konsekuensi yang tak sesaat.

Tapi siapa yang peduli. Toh, cinta kadang dikatakan ibarat coklat pula; manis, punya gizi dan merangsang birahi. Cinta mengundang seluruh komponen dalam tubuh manusia demi melayani hasrat, menumbuhkan kehendak dan kadang-kadang menjadi dorongan untuk bergerak. Kadang, karena itu pula, cinta sering “dipelesetkan” dengan hal-hal yang membangkitkan. Kata orang perguruan tinggi, itu potensi.

Bagi pecinta sejati, konon, cinta itu adalah dorongan konstruktif yang positif. Dari yang semula lemah menjadi sekuat baja dan setegar karang lautan. Dari orang yang semula tergolek lemah di kamar tidurnya menjadi seorang penggiat aksi demonstrasi di jalanan. Dari seorang yang hanya mengeja alif ba ta, hingga menjadi fasih bersenandung qiraah. Bagi mereka, adalah salah bila seorang yang punya cinta dalam hidupnya lantas menjadi pesakitan seumur hidup. “Itu salah!” kata mereka.

Bolehlah, kata mereka, suatu saat orang yang mencinta itu sakit. Kadang-kadang, untuk sampai ke cinta, seseorang pun perlu “jatuh” dulu. Mereka tak perduli rasa sakit itu seperti apa, yang penting, cinta adalah modal untuk hidup, untuk bergerak dalam dunia yang memang tak pernah peduli apakah makhluk manusia itu mati atau hidup. “Tapi jangan sakit berketerusan. Justru cinta punya energi untuk mengobati. Cinta itu justru adalah obat bagi hidup. Hidup mesti terus berjalan,” kata mereka.

Dalam malam buta, saya kian tak mafhum, setelah cinta lalu apa? Bagaimana kalau bukan cinta yang sedang berkobar dan membakar, tapi kitalah yang sedang membakar cinta. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

METODE PENAMBANGAN BAWAH TANAH - UNDERGROUND

FRIENDSHIP CARING

Jakarta-Bangkok-Siem Reap