PROBLEM JODOH BAGI PSIKOLOG

Menarik, curahan hati seorang psikolog terkenal (Tine) di Jakarta tentang putrinya dengan Leo. Simak ini…..

Salam kenal lagi. Thanks for trusting me to give you advice (ehem...).


Saya seorang Psikolog yang banyak memberikan konseling pada pernikahan, tapi kok ya seorang psikolog susah ya memberi masukan ke anak sendiri. Hehehee,... jadi ibarat tukang cukur tidak bisa mencukur kepala sendiri. Hik hik.... Untuk itu saya pingin masukan dari Mas Leo nich.Well, what to say Mbak? Mungkin memang begitulah kodrat manusia, tidak bisa "membuahi" diri sendiri. Saya membacakan tarot untuk ratusan orang per tahun yang meminta private counselling, tetapi saya sendiri tidak bisa membacakan tarot untuk diri saya sendirikarena saya tidak bisa obyektif, maunya yang bagus-bagus saja.

Begitu juga tentang konseling pernikahan: lebih dari separuh klien saya meminta konseling tentang membentuk pernikahan baru atau melikuidasi pernikahan yang dianggap sudah kedaluwarsa, expired. Lah? Memang ya,jaman sekarang pernikahan mempunyai expiry date yang tergantung dari bargaining kedua belah pihak. Kalau salah satu pihak sudah merasa kebelet ingin likuidasi dan merger dengan pihak lain, maka pihak yang satunya tidak bisa (dan tidak berhak) untuk menahannya.

Memangnya kita masih di jaman Siti Nurbaya dimana wanita dijodohkan dengan pria, dan pria bisa seenaknya saja kawin lagi dan kawin lagi dan kawin lagi? You know yourself that the situation is completely different now. But, ternyata kita ini masih punya vestiges dari jaman Siti Nurbaya, walaupun disamarkan dengan asumsi-asumsi rasional. Contohnya: Pria musti mapan sebelum berumah-tangga.

Nah, apakah itu persyaratan yang bukan berasal dari jaman Siti Nurbaya karena di belakang belief system seperti itu ada anggapan bahwa yang mencari nafkah buat rumah tangga adalah pria? Wanita tinggal di rumah saja dan berfungsi sebagai "pabrik" pembuat anak.Wanita melahirkan dan membesarkan anak; pria bekerja di luar rumah dan bawa pulang duit. Di belakang belief system itu ada lagi berlapis-lapis belief system yang berasal dari budaya kita sendiri. Misalnya: istri harus membutakan diri terhadap apa yang dilakukan oleh suami di luar rumahnya. Sering para istri mengatakan: dia suami saya, tetapi di luar rumah dia bukan suami saya.Itu adalah belief system yang mengacu kepada peran wanita sebagai pihak yang dependen, tergantung pada pria. You know yourself, again, that that is not the case nowadays. Situasinya sudah berubah. Banyak wanita (bahkan sebagian besar malahan) yang memiliki mata pencaharian sendiri. Sebagian wanita yang mandiri sebagai professional malahan memiliki income yang lebih besar daripada suaminya. Dan, karena memiliki income sendiri dan tidak tergantung dari sang suami, maka para istri yang secara materi independen daripara suaminya ini tidak mau lagi diperlakukan semena-mena seperti di zaman purba. Gak ada lagi yang namanya wanita harus bersifat nrimo, monjo di ranjang, pasrah tinggal di kandang.Tidak ada lagi itu.

Saya punya anak kedua putri, namanya Aida Zulfida (Ida), dia lahir tanggal 11 Juni 1981. Sayamemberikan arahan ketika nanti memilih jodoh paling tidak salah satunya memiliki kriteria pekerjaan... Aduch hare gene Mas,... kalau gak punya pegangan piye to? Nach dia punya kenalan, dibilang pacar bukan dibilang bukan kayaknya deket, lulusan S1 tapi profesi gak jelas dan sekali-sekali ngajar bela diri karate. Pernah aku tanya seberapa deket,... dia bilang biasa tapi nyaman. Wach,... nyaman terus malah ga ada tantangan kan Mas? Pertanyaanku, kenapa a kok anakku ini gak bisa berpikir jauh kedepan, yang penting nyaman aja???

Well, tidak ada salahnya memberikan arahan agar calon suami Ida memiliki pekerjaan tetap. Tetapi, tentu saja Ida juga memiliki pandangan sendiri. Saya lihat Ida itu berpikirnya independen seperti Anda ini, ibunya sendiri, yang berpendapat bahwa harus ada bargaining antara pria dan wanita, bahwa wanita itu tidak harus tergantung dari pria.
Ida yang anak kedua dari Mbak ini melihat bahwa ibunya itu sering memberikan konseling pernikahan kepada banyak orang. Dan Ida juga sadar bahwa pernikahan itu tidak seperti yang digembar-gemborkan oleh tradisi kita. Ida melihat banyak klien dari ibunya ternyata terbontang-banting gara-gara masuk ke "mahligai rumah-tangga" yang ternyata no other than jebakan paraorang tua yang ingin lekas lepas dari tanggung-jawab
Di kultur kita kan orang tua merasa masih harus bertanggung- jawab sampai anak-anaknya berumah tangga. Selama anak belum berumah-tangga, orang tua merasa bahwa tugasnya belum selesai.

Tapi, does it work? Apakah segala dorongan-dorongan untuk cepat menikah itu bisa efektif? You know yourself bahwa jaman sekarang ini tidak seperti itu lagi... Sekarang banyak wanita yang akhirnya menyesal telah menuruti keinginan orang-tua agar cepat-cepat menikah. Orang tua malu anaknya dikatain jadi perawan tua. Dan si anak perempuan gak tahan mendapat tekanandari orang tua yang setiap hari mengelus-ngelus dada di depannya hanya karana anak perempuannya itu belum mau menikah.

Jadinya ya perkawinan jebrat jebret. Biarpun undangan disebarkan untuk dua ribu orang, dan yang dateng orang sekampung, plus dari kampung-kampung lain... kalau si mempelai wanita merasa dirinya diperdaya oleh orang tua yang kesengsem dengan jabatan dan harta calonbesannya (banyak kasus begini) maka jadinya adalah perkawinan terpaksa. Jamanne jaman Posmo (Post Modern), tapi spiritne masih spirit Siti Nurbaya. Piye?

Orang tua masih merayu-rayu, malah sering dengan setengah mengancam, agar anak wanitanya cepat-cepat menikah. Asal calon mempelai pria punya pekerjaan, wismenikahlah. Kok?

Orang tua, walaupun yang modern seperti Mbak ini, ternyata masih takut anak wanitanya dipake gratisan. Well, kenapa takut? Itu suka sama suka toh? Dan kalo sukanya cuma sampe saling maen cemceman doang, kenapa harus dipaksa menikah? Cintanya cuma cinta cemceman, dan cinta cemceman gak bakal bisa bertahan kalo targetnya adalah rumah tangga yang, diharapkan, bisa bertahan puluhan tahun. Apalagi seumur hidup.
Siapa tau Mas, melalui saran Mas Leo aku bisa masuk dan memberi pengertian ke Ida.Mbak, saran dari aku cuma satu. Please give Ida freedom to choose. Kalau dia cinta dan merasa bisa hidup dengan seseorang sebagai suaminya, then it's her choice. It's her marriage that we are talking about, and not your marriage. Dan, kalau mau pakai pengertian psikologi modern (you are a psychologist kan?), malahan orang tua gak boleh ikut campur sama pilihan anaknya. Bisa memberi masukan, tapi gak punya hak veto. Ida sudah lebih dari 21 tahun kan? Sudah bukan anak di bawah umur kan?

Biarkan saja dia memilih calon yang disukainya. Apapun yang dipilihnya, konsekwensinya akan ditanggung oleh dia sendiri. Saya lihat Ida sudah tidak lagi bisa mempertimbangkan budaya tradisional kita yang cenderung memaksa wanita untuk cepat menikah dengan calon yang bisa bawa materi. Dia lihat sendiri bahwa rumah tangga semacam itu cuma lip service saja. Manisdi bibir, dan pahit di hati.

Aku cuma sarankan agar dia bisa bebas memilih which is her own right. Please try to be objective, Mbak,...realitas kehidupan masyarakat kita sudah beda. Dan please be realistic about that, even when it concerns your own family.
Sekian dari saya, semoga bisa membantu. And, don't you think that I am an experienced family man. Nggak gitu Mbak, aku ini belum pernah menikah, kawin aja belum. Jujur aja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

METODE PENAMBANGAN BAWAH TANAH - UNDERGROUND

FRIENDSHIP CARING

Jakarta-Bangkok-Siem Reap